Why So Sportive?

--from KOMPAS--(lupa tanggal berapa :P)

Akhir-akhir ini, kita sudah menyaksikan bagaimana pemilihan presiden di Amerika Serikat berakhir dengan kemenangan telak kandidat dari Partai Demokrat Barack Obama. Secara sportif, pihak oposisi, pasangan calon presiden dan wakil presiden McCain-Sarah Palin mengakui kekalahan mereka.

"Malam ini amat berbeda dengan malam-malam sebelumnya, tidak ada dalam hati saya, kecuali kecintaan saya kepada negeri ini dan kepada seluruh warga negaranya, apakah mereka mendukung saya ataupun Barack Obama. Saya mendoakan orang yang sebelumnya adalah lawan saya, semoga berhasil dan menjadi presiden saya," kata McCain di depan puluhan ribu pendukungnya saat hasil pemilu diumumkan.

Sebaliknya, di Indonesia, kekalahan pada pemilihan-pemilihan umum tidak dibarengi dengan sportivitas. Saat kekahalan melanda suatu pihak, pihak lainnya akan menggugat dengan berbagai alasan. Kekisruhan pun tidak jarang terjadi. Itu semua karena calon pemimpin yang mereka percayai tidak dapat menerima kekalahan tersebut dengan legawa.

Pemilu AS 2000

Menilik kembali pemiu presiden Amerika Serikat 2000, saat capres partai demokrat Al Gore kalah dalam penghitungan suara dengan dramatis melawan George W. Bush (1.784 suara dari total 5.816.558 pemilih). Tim sukses Al Gore berupaya keras agar penghitungan suara dilakukan kembali. Namun, Al Gore kemudian menelpon ketua tim suksesnya agar menghentikan upaya mereka. Kemudian AL Gore muncul dalam suatu acara di teve dan mengakui kekalahannya dan mengucapkan selamat kepada Bush.

 

Di negara kita, belum ada budaya mengakui kekalahan. Yang ada malah saling menuduh. Kedua contoh di atas sudah cukup untuk menjadi panutan kita untuk belajar menjadi manusia yang sportif untuk mengakui kebenaran walaupun menyakitkan.

0 comments: